[semacam] Puisi kala Mati Lampu

Angkasa bertabur ribuan bintang, malam lagi tersulut titik-titik cahaya yang tumpah ruah tak berbatas.  Semesta sedang khusuk memayungi bumi yang tak kalah berpendah dibawahnya, jutaan cahaya lampu, di titik keramaian dan jalanan, berpendar, berkelap-kelip tak kenal waktu.

Kemudian satu detik, sekejap kompak bumi menjadi gelap, jutaan cahaya lenyap, hanya jalanan melingkar yang tak senyap, tak peduli sekeliling yang mendadak gelap. Serentak ada koor sambung menyambung disana-sini, tak membentuk harmoni, cuma satu kata panjang tanpa arti, itulah suara “yaaaaaaaaaaaahhhhh..

Itulah kami yang diminta hemat energi, sementara listrik tak jua malas untuk mati, seperti pendekar tanpa jejak yang terus bangkit hidup setelah mati sesaat, seperti tak ada apa-apa selain kata hebat.

Teruslah berslogan, pergi hijau ! selamatkan bumi !
Tapi hijau yang mana, dunia yang mana ?

Cukup tutup mulut manismu dan nyalakan lagi titik-titik cahaya di dunia kami, jangan sampai kalah dengan gemintang yang sekarang sudah menjelma miliaran, yang menonton drama tentang cahaya, yang menjelang pemberian sambutan pada pemilik merah ufuk dunia.

Mungkin sebaiknya, dunia selamanya adalah pagi, siang dan sore hari, jangan pernah hadir namanya malam.  Mungkin bagusnya demikian.

One Response to “[semacam] Puisi kala Mati Lampu”

  1. Asop Says:

    Saat listrik nyala, kami menghambur-hamburkannya.
    Saat listrik mati, kami memaki-maki PLN..
    Kapan kami meyesal?

Leave a reply to Asop Cancel reply